Minggu, 17 November 2013

review2: JUDUL :KOPERASI DAN KEKUASAAN DALAM ERA ORDE BARU PENGARANG :Revrisond Baswir SUMBER : JURNAL UNIV. PARAMADINA VOL. 2 NO. 3 MEI 2003 :247-263



JUDUL :KOPERASI DAN KEKUASAAN DALAM ERA ORDE BARU
PENGARANG :Revrisond Baswir
SUMBER : JURNAL UNIV. PARAMADINA VOL. 2 NO. 3 MEI 2003 :247-263


Lingkungan ABRI tergolong tidak banyak. Sebagaimana tampak pada Tabel 1,
jumlah koperasi primer dalam lingkungan ABRI pada tahun 1977/1978 hanya
1.542 unit, meliputi 894 primkopad, 98 primkopal, 120 primkopau, dan 430
primkoppol. Karena pada masing-masing angkatan dan kepolisian dibentuk satu
induk koperasi, ditambah dengan satu induk koperasi khusus bagi Markas
Besar ABRI, maka dalam lingkungan ABRI otomatis terdapat lima induk
koperasi. Padahal, dalam lingkungan pegawai negeri sipil, yang pada tahun
yang sama memiliki 4.375 unit koperasi primer, hanya terdapat satu induk
koperasi.

Keterbelakangan Koperasi
           
            Pertanyaannya adalah, setelah Orde Baru memegang tampuk
kekuasaan selama lebih dari 30 tahun, sedangkan posisi koperasi dibandingkan
dengan pelaku-pelaku usaha yang lain masih tetap terbelakang, bagaimanakah
kaitan antara keterbelakangan koperasi dengan fenomena intervensi legal dan
institusional tadi harus diterangkan? Artinya, apakah kondisi keterbelakangan
yang dialami koperasi sepanjang era Orde Baru itu juga berkaitan dengan
fenomena intervensi legal dan institusional tersebut?
Setelah mengalami penyusutan secara besar-besaran pada tahun
1967, perkembangan koperasi dalam era Orde Baru sebenarnya tergolong
lumayan. Hal itu tidak hanya dapat disaksikan pada perkembangan
kelembagaan koperasi, tapi juga pada perkembangan usahanya. Secara
kuantitatif, perkembangan kelembagaan koperasi dapat dicermati pada
peningkatan jumlah koperasi dan jumlah anggotanya. Jumlah koperasi yang
pada awal Pelita I masih sekitar 9.339 unit, pada tahun 1993 meningkat menjadi 42.061 unit. Peningkatan yang lebih drastis terjadi pada jumlah anggota
koperasi. Dari hanya sekitar 1,5 juta orang, jumlah anggota koperasi meningkat
menjadi 24,7 juta orang (RI, 1995: VI/82).
Tetapi bila dilihat dari sudut intervensi legal dan institusional yang
menelikung perkembangan koperasi sebagaimana dikemukakan tadi, kondisi
keterbelakangan koperasi itu sebenarnya mudah dipahami. Dengan
berubahnya kriteria keanggotaan dan penjenisan koperasi berdasarkan
kesamaan aktivitas/ kepentingan ekonomi para anggotanya, keberadaan
koperasi secara sengaja diarahkan hanya sebagai sebuah usaha sampingan.
Bahkan, dengan lebih ditekankannya pengembangan koperasi dalam
lingkungan masyarakat desa, pegawai negeri dan ABRI, serta golongan
fungsional lainnya (yang secara politik cenderung sangat terkooptasi),
pembangunan koperasi tampaknya memang sengaja diarahkan semata-mata
sebagai usaha sampingan bagi kelompok masyarakat yang memiliki
keterampilan, modal, dan posisi tawar politik terbatas.
Sebaliknya, bila dilihat dari sudut orientasi ekonomi-politik Orde Baru,
Kondisi keterbelakangan koperasi itu lebih tepat disebut sebagai sebuah conditiosine qua non. Artinya, dengan menelikung perkembangan koperasi, Orde Baru
Tidak hanya berhasil mengubah corak dan watak ideologis koperasi, tapi
 Sekaligus berhasil mengintegrasikannya sebagai bagian dari struktur
 kekuasaan. Hal tersebut sejalan dengan watak Orde Baru sebagai sebuah
Negara otoriter birokratikrente (Budiman, 1991: 70), baik untuk menjaga
 Stabilitas kekuasan maupun untuk menjamin kesinambungan strategi
pembangunannya.
Dengan cara itulah antara lain Orde Baru melestarikan
 Kekuasaannya selama 32 tahun.

Implikasi Kebijakan

Berdasarkan uraian panjang lebar di muka, secara umum dapat
Disimpulkan betapa sangat besarnya peranan faktor-faktor politik dan
Kekuasaan terhadap perikehidupan bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan
Dari Soekarno kepada Soeharto ternyata tidak hanya telah menyebabkan
Terjadinya pergeseran corak dan orientasi politik nasional, tapi juga telah
menyebabkanterjadinyapergeserancorakdanorientasiekonomi Indonesia
secara mendasar. Bahkan, walaupun jarang mendapat perhatian, peristiwaitu
juga telah menyebabkan terjadinya perubahan corak dan watak koperasi
Indonesia.
Dengan latarbelakang seperti itu, keterbelakangan koperasi
Dibandingkan kelompok-kelompok usaha yang lain dalam era Orde Baru,
Sebenarnya hanyalah konsekuensilogis dari perubahan orientasi ekonomi politik
nasional. Secara empiric hal tersebut berkaitan dengan intervensi legal
dan institusional yang di alami oleh koperasi. Sebab itu, guna meningkatkan
perkembangan koperasi di masadepan, kebijakan perkoperasian yang hanya
berorientasi pada pembenahan kondisi internal koperasi tidak akan banyak
artinya. Demikian pula halnya dengan penyediaan fasilitas permodalan atau
berbagai fasilitas kemudahan lainnya. Tindakan-tindakan itu, selain akan
semakin memperburuk tingkat ketergantungan koperasi terhadap kekuasaan,
hanya akan menyebabkan semakin merajalelanya praktik korupsi dan kolusi
dalam lingkungan perkoperasian.

Daftar pustaka
Baswir, Revrisond. 1993. Kemandirian Koperasi dan Kewiraushaan, dalam Revisond, Ekonomika, Manusia, dan Etika, Yogyakarta: BPFE

NAMA                  :Agung Ali Fadli
NPM / KELAS     :20212339/2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar