JUDUL
:KOPERASI DAN
KEKUASAAN DALAM ERA ORDE BARU
PENGARANG
:Revrisond Baswir
SUMBER
: JURNAL UNIV. PARAMADINA VOL. 2 NO. 3 MEI 2003 :247-263
Lingkungan ABRI
tergolong tidak banyak. Sebagaimana tampak pada Tabel 1,
jumlah koperasi primer dalam lingkungan ABRI
pada tahun 1977/1978 hanya
1.542 unit, meliputi 894 primkopad, 98
primkopal, 120 primkopau, dan 430
primkoppol. Karena pada masing-masing
angkatan dan kepolisian dibentuk satu
induk koperasi, ditambah dengan satu induk
koperasi khusus bagi Markas
Besar ABRI, maka dalam lingkungan ABRI
otomatis terdapat lima induk
koperasi. Padahal, dalam lingkungan pegawai
negeri sipil, yang pada tahun
yang sama memiliki 4.375 unit koperasi
primer, hanya terdapat satu induk
koperasi.
Keterbelakangan Koperasi
Pertanyaannya
adalah, setelah Orde Baru memegang tampuk
kekuasaan selama lebih dari 30 tahun,
sedangkan posisi koperasi dibandingkan
dengan pelaku-pelaku usaha yang lain masih
tetap terbelakang, bagaimanakah
kaitan antara keterbelakangan koperasi
dengan fenomena intervensi legal dan
institusional tadi harus diterangkan?
Artinya, apakah kondisi keterbelakangan
yang dialami koperasi sepanjang era Orde
Baru itu juga berkaitan dengan
fenomena intervensi legal dan institusional
tersebut?
Setelah mengalami
penyusutan secara besar-besaran pada tahun
1967, perkembangan koperasi dalam era Orde
Baru sebenarnya tergolong
lumayan. Hal itu tidak hanya dapat
disaksikan pada perkembangan
kelembagaan koperasi, tapi juga pada
perkembangan usahanya. Secara
kuantitatif, perkembangan kelembagaan
koperasi dapat dicermati pada
peningkatan jumlah koperasi dan jumlah
anggotanya. Jumlah koperasi yang
pada awal Pelita I masih sekitar 9.339 unit,
pada tahun 1993 meningkat menjadi 42.061
unit. Peningkatan yang lebih drastis terjadi pada jumlah anggota
koperasi. Dari hanya sekitar 1,5 juta orang,
jumlah anggota koperasi meningkat
menjadi 24,7 juta orang (RI, 1995: VI/82).
Tetapi bila
dilihat dari sudut intervensi legal dan institusional yang
menelikung perkembangan koperasi sebagaimana
dikemukakan tadi, kondisi
keterbelakangan koperasi itu sebenarnya
mudah dipahami. Dengan
berubahnya kriteria keanggotaan dan
penjenisan koperasi berdasarkan
kesamaan aktivitas/ kepentingan ekonomi para
anggotanya, keberadaan
koperasi secara sengaja diarahkan hanya
sebagai sebuah usaha sampingan.
Bahkan, dengan lebih ditekankannya
pengembangan koperasi dalam
lingkungan masyarakat desa, pegawai negeri
dan ABRI, serta golongan
fungsional lainnya (yang secara politik
cenderung sangat terkooptasi),
pembangunan koperasi tampaknya memang
sengaja diarahkan semata-mata
sebagai usaha sampingan bagi kelompok
masyarakat yang memiliki
keterampilan, modal, dan posisi tawar
politik terbatas.
Sebaliknya, bila dilihat dari sudut orientasi ekonomi-politik
Orde Baru,
Kondisi keterbelakangan
koperasi itu lebih tepat disebut sebagai sebuah conditiosine
qua non. Artinya, dengan menelikung perkembangan koperasi,
Orde Baru
Tidak hanya
berhasil mengubah corak dan watak ideologis koperasi, tapi
Sekaligus berhasil mengintegrasikannya sebagai
bagian dari struktur
kekuasaan. Hal tersebut sejalan dengan watak Orde
Baru sebagai sebuah
Negara otoriter
birokratikrente (Budiman, 1991: 70), baik untuk menjaga
Stabilitas kekuasan maupun untuk menjamin kesinambungan
strategi
pembangunannya.
Dengan cara
itulah antara lain Orde Baru melestarikan
Kekuasaannya selama 32 tahun.
Implikasi
Kebijakan
Berdasarkan uraian panjang lebar di muka, secara umum dapat
Disimpulkan
betapa sangat besarnya peranan faktor-faktor politik dan
Kekuasaan
terhadap perikehidupan bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan
Dari Soekarno
kepada Soeharto ternyata tidak hanya telah menyebabkan
Terjadinya
pergeseran corak dan orientasi politik nasional, tapi juga telah
menyebabkanterjadinyapergeserancorakdanorientasiekonomi
Indonesia
secara mendasar.
Bahkan, walaupun jarang mendapat perhatian, peristiwaitu
juga telah
menyebabkan terjadinya perubahan corak dan watak koperasi
Indonesia.
Dengan latarbelakang seperti itu, keterbelakangan koperasi
Dibandingkan
kelompok-kelompok usaha yang lain dalam era Orde Baru,
Sebenarnya
hanyalah konsekuensilogis dari perubahan orientasi ekonomi politik
nasional.
Secara empiric hal tersebut berkaitan dengan intervensi legal
dan institusional
yang di alami oleh koperasi. Sebab itu, guna meningkatkan
perkembangan
koperasi di masadepan, kebijakan perkoperasian yang hanya
berorientasi
pada pembenahan kondisi internal koperasi tidak akan banyak
artinya.
Demikian pula halnya dengan penyediaan fasilitas permodalan atau
berbagai fasilitas
kemudahan lainnya. Tindakan-tindakan itu, selain akan
semakin memperburuk
tingkat ketergantungan koperasi terhadap kekuasaan,
hanya akan
menyebabkan semakin merajalelanya praktik korupsi dan kolusi
dalam lingkungan
perkoperasian.
Daftar pustaka
Baswir,
Revrisond. 1993. Kemandirian Koperasi dan Kewiraushaan, dalam Revisond,
Ekonomika, Manusia, dan Etika, Yogyakarta: BPFE
NAMA :Agung Ali Fadli
NPM /
KELAS :20212339/2EB09